LABELISASI OBAT DAN KOSMETIK HALAL
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak. Sebanyak 87% penduduk Indonesia adalah muslim. Kondisi ini mendukung tumbuhnya ekonomi syariah di Indonesia, termasuk juga di dalamnya industri halal. Indonesia telah memiliki goal menjadi ‘Global Halal Hub’ (Ayu, 2019). Setiap produsen harus memenuhi kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen muslim. Produk halal adalah bagian dari tanggung jawab perusahaan kepada konsumen muslim. Di Indonesia, produk halal harus memiliki Sertifikat Halal (SH) MUI (LPPOM MUI, 2008).
Sesuai ketentuan MUI, masa berlaku SH adalah dua tahun. Selama masa tersebut, perusahaan harus bisa memberikan jaminan kepada MUI dan konsumen muslim bahwa perusahaan senantiasa menjaga konsistensi kehalalan produknya. Oleh karena itu, LPPOM MUI mewajibkan perusahaan untuk menyusun suatu sistem yang disebut Sistem Jaminan Halal (SJH) dan terdokumentasi sebagai Manual SJH. Manual tersebut disusun oleh produsen sesuai dengan kondisi perusahaannya (LPPOM MUI, 2008).
Di samping itu, muncul fakta bahwa sepanjang tahun, peminat produk halal meningkat pesat di kalangan masyarakat Muslim bahkan non-Muslim (Zulkarnain, 2014). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran konsumen untuk mengonsumsi produk halal, sedangkan bagi Muslim, hal ini merupakan suatu kewajiban menurut agama. Kewajiban penggunaan produk halal tersebut diperlukan bukan karena aspek agama saja, melainkan juga dalam segi keamanan setiap produk yang digunakan konsumen. Dalam hal ini, produk halal dapat dipastikan sudah lebih teruji secara keamanannya karena salah satu syarat dari produk halal adalah tidak membahayakan penggunanya.
Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan teknologi dan media sosial, menimbulkan minat tinggi terhadap kosmetika di kalangan remaja hingga dewasa. Terlebih lagi banyaknya produk kosmetika yang beredar menimbulkan kewaspadaan tentang keamanan kosmetik. Pencantuman label halal dari MUI penting tidak hanya untuk konsumen, tetapi juga para produsen. Hal ini sebagai jaminan untuk konsumen kalau produk yang mereka konsumsi tersebut aman dari unsur yang tidak halal dan diproduksi dengan cara halal dan beretika. Untuk produsen, label halal ini berfungsi dalam membangun kepercayaan dan loyalitas konsumen terhadap produk-produk mereka. Produk yang bersetifikat halal juga jadi memiliki daya saing yang lebih tinggi dibanding produk yang tidak mencantumkan label halal di produknya (Chairani, 2019). Data LPPOM MUI mencatat pada 2016 terdapat 48 perusahaan dengan total 5.254 produk kosmetik halal dan pada 2017 sebanyak 64 perusahaan dengan total 3.219 produk. Hingga Maret 2018, sudah tercatat terdapat 41 perusahaan dengan total 2.115 produk bersertifikat halal (CNN, 2018).
Selain itu, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika (LP POM) MUI, Lukmanul Hakim juga mengungkapkan bahwa sertifikat halal adalah bentuk perlindungan secara lokal karena sertifikat halal memiliki dua fungsi. Fungsi tersebut ialah untuk memuaskan konsumen yang peduli akan jaminan halal sebuah produk dan keunggulan bersaing. Selain itu, Lukman pun mengatakan mengacu pada Undang-Undang Produk Halal Nomor 23 Tahun 2014 bahwa rencananya tahun 2019 pemberlakukan mandatori halal bahwa semua produk yang masuk dan berdagang di Indonesia harus memiliki sertifikat halal (Chairani, 2019).
Lukman didampingi oleh Direktur Sido Muncul, Irwan Hidayat, mengatakan sebanyak 241 produk Sido Muncul telah menerima sertifikat halal. Melalui sertifikat halal tersebut, Irwan berharap dapat menangkal kabar hoaks tentang kualitas dan bahan produknya. Guna mempersiapkan sertifikat halal tersebut, pihaknya memakan waktu delapan bulan karena terdapat beberapa perbaikan yang dilengkapi Sido Muncul, seperti training dan ujian untuk lima puluh karyawan oleh MUI (Chairani, 2019).
Kementrian Keuangan juga telah merancang pengembangan ekonomi Syariah. Salah satunya dengan penguatan sektor riil ekonomi Syariah melalui pengembangan industri halal. Penguatan sektor industri halal dapat dikembangkan dari proses sertifikasi halal badan-badan usaha di Indonesia. Melalui proses ini, diharapkan Indonesia dapat menjadi ‘negara teladan’ dalam industri halal, serta mendapatkan kepercayaan dunia internasional terkait sertifikasi halal (Ayu, 2019).
Permasalahan yang Terjadi
Indonesia masih harus mengatasi tantangan dan hambatan yang ada mengenai perihal sertifikasi halal. Hal ini tidak hanya menyasar pada ranah industri, tetapi juga sampai UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Dari beberapa sumber yang diperoleh, berikut permasalahan dalam sertifikasi halal yang saat ini telah terjadi:
- Pada UMKM (Maryati, 2016):
- Proses yang rumit dalam memperoleh Izin Usaha Industri (IUI)/Izin Usaha Menegah Mikro Kecil (IUMK), meskipun sudah tidak berbayar. Hal ini disebabkan banyaknya dokumen yang harus dilampirkan oleh para UMKM ketika mengurus IUI. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 menjelaskan bahwa izin usaha untuk pelaku UMKM cukup dengan IUMK dari kecamatan. Namun, IUMK memang belum diimplementasikan di seluruh wilayah karena masih dalam perbincangan tingkat pusat. Dua alasan lain, yaitu waktu pengerjaan untuk memperoleh IUI itu lama dan mahal.
- Ketatnya proses memperoleh izin edar MD (Merk Dalam negeri) pada produk beku sering membuat pelaksananya menyerah sebelum mengajukan. Hal ini untuk memberikan keamanan pangan, sehingga audit dan pengecekan laboratorium terhadap material yang tidak dilengkapi dokumen perlu dilakukan. Banyak produk dihasilkan dari proses teknologi sehingga perlu diketahui ketertelusurannya. Namun, birokrasi dalam pengurusan izin edar MD pada produk beku juga masih rumit.
- Pada IKM (Industri Kecil dan Menengah) (Dewi, 2015):
Pelaksanaan sistem jaminan halal produk yang dilakukan oleh pemilik usaha kecil ini dapat dikatakan hanya sebatas penjaminan halal produk yang dihasilkan baik dan nyaman untuk dikonsumsi. Dengan kata lain, masih terlalu minim pengarahan kepada lembaga-lembaga kecil seperti IKM ini kaitannya dengan operasional kinerja SJH. Selain itu, masih kurangnya sosialisasi yang diberikan LPPOM MUI kepada IKM untuk pemahaman bagi setiap pemilik industri kecil dan menengah.
- Pada skala nasional dan internasional:
Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan produk makanan, farmasi, dan kosmetika wajib menerapkan sertifikasi halal pada 2019. Adapun untuk makanan berlaku secara bertahap mulai 2017. Masalahnya, hal itu berlaku bagi semua produsen maupun importir (Anonim, 2016).
Prof. Ir. Sukoso, M. Sc., Ph. D selaku Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyampaikan bahwa masih terdapat kendala internal dan eksternal dalam mencapai goal Indonesia menjadi Global Halal Hub. Tantangan eksternal yaitu masih minimnya pelaku usaha yang melakukan sertifikasi halal terhadap badan usaha dan produknya. Menurut Prof. Sukoso, penyebab rendahnya sertifikasi halal yaitu kurangnya kesadaran pelaku usaha akan pentingnya melakukan sertifikasi halal terhap usahanya dan kurangnya kesadaran hukum masyarakat secara umum (Ayu, 2019).
Sistem Jaminan Halal
Tujuan Sertifikasi halal pada produk pangan, obat-obatan dan kosmetika dilakukan untuk memberikan kepastian status kehalalan suatu produk, sehingga dapat memberi ketentraman batin yang mengonsumsinya. Selain itu, bagi produsen, sertifikasi halal akan dapat mencegah kesimpangsiuran status kehalalan produk yang dihasilkan. Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses sertifikasi halal (Anonim, 2008).
Dalam buku MABIMS Harmonisation of Halal Standards edisi 2017, konsep sistem jaminan halal di Indonesia untuk makanan, obat, dan kosmetika menggunakan Halal Assurance System (HAS) yang terdiri dari enam modul. Keenam modul tersebut digunakan untuk sertifikat halal, RPH, makanan, industri, restoran, dan katering. Mengingat disahkannya UU No.33 Tahun 2014 dapat dianggap bahwa sertifikasi halal menjadi otoritas pemerintah, maka standar halal yang digunakan ke depan harus menggunakan standar nasional Indonesia (SNI). Oleh karena itu, diperlukan penerapan standar halal yang baru, yaitu SNI 99001. Standar ini sebaggai acuan dan prinsip dalam menerapkan sistem manajemen mutu halal untuk memberikan jaminan produk / jasa yang dihasilkan oleh suatu organisasi dapat terjamin kehalalannya. Standar ini berlaku umum untuk semua kategori. Di antaranya industri pengolahan (pangan, obat, kosmetika), Rumah Potong Hewan (RPH), proses produksi, katering, restoran, industri jasa (antara lain distributor, warehouse, transportasi, perhotelan, retailer), dan barang gunaan.
Salah satu poin krusial pada standar halal, yaitu bahan yang digunakan. Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk yang disertifikasi tidak boleh berasal dari bahan haram atau najis. Perusahaan harus mempunyai dokumen pendukung untuk semua bahan yang digunakan, kecuali bahan tidak kritis atau bahan yang dibeli secara retail.
Dampak Adanya Labelisasi Obat dan Kosmetika Halal
Adanya labelisasi produk halal dan penguatan sertifikat halal sejatinya dapat memberikan dampak yang positif bagi produsen maupun konsumen. Berikut beberapa manfaat sertifikasi halal.
- Bagi Konsumen
1. Memberikan ketenangan
Konsumen akan menjadi khawatir jika kehalalan dari suatu produk masih dipertanyakan. Apalagi masih belum ada logo halal yang telah disahkan oleh LPPOM MUI pada produk tersebut. Mengapa demikian? Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, kebanyakan mereka yakin bahwa kehalalan adalah sebagai tanda penting bagi suatu produk aman dikonsumsi atau digunakan.
2. Produk terjamin dan aman dikonsumsi atau dipakai
Mengingat prosedur sertifikasi halal yang ketat, masyarakat pun menyakini bahwa produk dengan label halal terjamin untuk dikonsumsi atau dipakai. Tidak hanya makanan saja, kosmetik pun juga perlu disertifikasi. Hal ini dikarenakan penggunaan kosmetik untuk dikonsumsi atau masuk ke dalam tubuh yang mengandung bahan najis adalah haram hukumnya. Oleh karena itu, Sekretariat Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh merasakan bahwa pihaknya juga perlu mengumunkan standar kehalalan terhadap kosmetik serta obat-obatan.
- Bagi Produsen
1. Produk memiliki Unique Selling Point (USP)
Unique Selling Point atau Unique Selling Proposition merupakan salah satu konsep pemasaran yang membedakan suatu produk dengan pesaing lainnya. Nah, dengan mendapatkan sertifikasi halal ini, pastinya suatu produk akan memiliki USP yang tinggi.
2. Memiliki kesempatan meraih pasar halal global
Pasar global merupakan salah satu tempat yang dapat memperluas penjualan dari suatu produk. Dengan sertifikasi halal ini, suatu produk bisa bersaing dan mendapatkan kesempatan meraih pasar global.
3. Meningkatkan kemampuan dalam pemasaran di pasar/negara Muslim
Cara lain memperluas pemasaran bisnis yaitu dengan memperjualbelikan barang atau produk kepada pasar atau negara Muslim seperti Arab Saudi, Malaysia, Brunei Darussalam, dan negara lainnya. Ditambah dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, pastinya akan lebih dipercaya dan disegani oleh negara ataupun pasar muslim.
4. Meningkatkan kepercayaan konsumen
Tidak hanya bermanfaat bagi produsen saja, sertifikasi halal dari MUI atau lainnya ternyata sangat berguna untuk membangun kepercayaan kepada konsumen kita.
Daftar pustaka:
Anonim, 2008, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM – MUI, LPPOM MUI, Jakarta.
Ayu, S., 2019, Tantangan Internal Industri Halal Indonesia, diakses melalui https://www.kompasiana.com/silvinia97/5cd7c3a66db84338282415b5/tantangan-internal-industri-halal-indonesia?page=all pada tanggal 4 November 2019 pukul 12.35 WIB.
Chairani, Dessita, 2019, Pentingnya Sertifikasi Halal untuk Sebuah Produk, https://www.tribunnews.com/bisnis/2019/03/20/pentingnya-sertifikasi-halal-untuk-sebuah-produk,diakses 13 November 2019 07.48 WIB.
Dewi, R. K., 2015, Studi Analisis Terhadap Sistem Jaminan Halal Produk Pada IKM Bersertifikat Halal (Studi Kasus Pada IKM di Kota Semarang), Skripsi, Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang.
Kordnaeij, A., Aksaripoor, H., Bakhshizadeh, A., 2013, Studying Affecting Factors on Costumer’s Attitude toward Products with Halal Brand (Case Study: Kuala Lumpur Malaysia), International Research Journal of Applied and Basic Sciences, 4(10):3138-3145.
LPPOM MUI, 2018, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM-MUI, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Makanan Majelis Ulama Indonesia, Jakarta.
Maryati, T., Syarief, R., Hasbullah, R., 2016, Analisis Faktor Kendala dalam Pengajuan Sertifikat Halal (Studi Kasus: Pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Makanan Beku di Jabodetabek), Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 4(3):364-371.
Samori, Z., Ishak, H. A., dan Kassan, N. H., 2014, Understanding the Development of Halal Food Standard: Suggestion for Future Research, International Journal of Social Science and Humanity, 4(6).
Zulkarnain, M., 2014, Tapping into the Lucrative Halal Market: Malaysian SMEs Perspective, International Journal of Business and Innovation, 1(6).